Berpikir Cermat Sebelum Menarik Pajak Situs Online

Berpikir Cermat Sebelum Menarik Pajak Situs Online

Techno.id - Oleh: William Henley, CEO & Founder IndoSterling Capital

Ambisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) untuk meraup pemasukan dari pajak terus dipompa. Belum lama ini, tersiar kabar adanya niat Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk meraup potensi pajak dari penyedia layanan berbasis internet (Over The Top/OTT) yang dimiliki perusahaan asing.

Pada tahap awal, perusahaan asing yang coba dibidik potensi pajaknya adalah Google, Facebook, dan Twitter yang beroperasi Indonesia. Diyakini, ketiganya selama ini telah mereguk revenue dari aktivitas iklan digital selama tahun lalu hingga 800 juta dolar AS atau setara Rp 10,6 triliun.

Meski transaksi keuangan yang dilakukan nilainya terbilang besar namun hingga kini belum ada sepeser dana dari mereka itu yang bisa mengalir ke kas negara. Ironis. Pemerintah bagaikan macan ompong yang melihat potensi pajak besar namun tak bisa memungutnya.

Ancaman pemblokiran coba dimainkan oleh Kominfo. Kegemasan pemerintah rupanya sudah tak bisa lagi terbendung setelah mendengar kabarrevenuemenggiurkan yang telah diraup oleh Facebook, Twitter, dan Google dari hasil transaksi keuangannya di negeri ini. Kesadaran pun muncul. Pemerintah tidak bisa memungut pajak dari perusahaan online tersebut karena ketiganya belum memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Di sinilah letak persoalannya.


Padahal di negara maju semacam Inggris, misalnya, Google sempat dibuat tak berkutik ketika ditagih dalam urusan pajak. Google pun sempat menyetujui untuk membayar 130 juta pounds (sekitar Rp 2,6 triliun) kepada pemerintah Inggris sebagai pembayaran pajak untuk beberapa tahun ke belakang setelah dilakukannya audit terbuka oleh lembaga pajak Inggris. (BBC, 23 Januari 2016)

Di Indonesia, rasanya hal semacam ini masih belum bisa diberlakukan. Padahal, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pernah merilis data jika negeri ini kecolongan pajak iklan digital dari pemain OTT global per tahunnya antara Rp 14-15 triliun. (Merdeka, 3 Maret 2016)

Tren OTT yang Meningkat

Rencana yang hendak dilakukan pemerintah ini tentu saja cukup beralasan. Dalam beberapa tahun terakhir, tidak bisa dipungkiri lagi kalau perusahaan OTT tengah naik daun. Raksasa internet seperti Facebook, Twitter, Amazon, dan Google, memiliki profit yang selalu meningkat saban tahunnya.
Mengutip laporan BBC (Januari, 2016), Facebook tercatat mengalami peningkatan keuntungan dua kali lipat pada kuartal keempat tahun 2015. Keuntungan Facebook dilaporkan mencapai 1,56 miliar dolar AS selama tiga bulan terakhir pada 2015. Jumlah itu jauh lebih besar ketimbang keuntungan yang mereka bukukan pada periode yang sama pada 2014 yang hanya mencapai 701 juta dolar AS. Lalu dari jumlah tersebut, 80 persen ternyata berasal dari pendapatan iklan.

Tak mengherankan jika figur seperti Mark Zuckerberg (Pendiri Facebook), Jeff Bezos (pendiri Amazon.com) serta Larry Page dan Sergey Brin (pendiri Google) selalu saja menghiasi deretan orang terkaya di dunia. Lalu apakah pemerintah akan bisa semudah membalikkan telapak tangan untuk bisa 'memaksa' OTT raksasa dunia itu bersedia mengucurkan kewajiban pajaknya buat Indonesia?

Perlu kita ketahui salah satu karakter perusahaan internet itu tidak mengenal batas wilayah atau teritori negara. Fakta lainnya, perusahaan semacam Google, misalnya, memiliki struktur pembayaran pajak internasional yang sungguh berliku. Dalam banyak hal, manajemen Google ternyata justru cukup jeli dalam memanfaatkan peluang untuk bisa menghindari beban pajak yang harus mereka keluarkan di sebuah negara.

Di Eropa, misalnya. Google justru memilih kantor pusat di Irlandia yang notabene tarif pajak korporasinya lebih rendah dibanding Inggris. Lalu raksasa Amerika ini juga menggunakan struktur perusahaan di Bermuda, yang tarif pajak perusahaannya nol, untuk menyalurkan laba perusahaan.

Inilah yang sepatutnya sudah bisa dipahami oleh pemerintah Indonesia. Penerapan peraturan bahwa OTT global seperti Facebook, Google dan Twitter harus membentuk Badan Usaha Tetap (BUT) pada pengujung Maret nanti, semoga saja tidak menjadi kontraproduktif buat negeri ini.

Harus disadari Indonesia dengan penduduk 240 juta jiwa merupakan pasar empuk bagi perusahaan internet global. Data yang ada sekarang ini, di Indonesia media sosial menjadi layanan yang paling diminati. Pengguna Facebook di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 69 juta orang. Di susul Twitter yang mencapai 50 juta pengguna.

Dengan jumlah pengguna yang besar tersebut, sepatutnya pemerintah memiliki bargaining yang kuat ketika meminta OTT global itu membuka Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Namun perlu diingat juga supaya OTT global itu tertarik membuka kantor perwakilannya di Indonesia maka iklim bisnis di dalam negeri ini juga harus kondusif.

Salah satunya yang berkaitan dengan persoalan perpajakan. Bagaimanapun, perusahaan berbasis internet itu berbeda dengan perusahaan konvensional. Sehingga perlakuan pajaknya juga mesti berbeda. Contohnya mereka rela memberikan layanan gratis meskipun investasi yang telah dikeluarkan sangat besar.


Beban buat UKM?

Faktor lain yang mesti dicermati adalah kemungkinan munculnya beban yang mungkin saja dipikul oleh UKM. Loh, apa kaitannya dengan UKM? Selama ini para pelaku UKM kerap menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menjaring konsumen. Melalui sosial media, tak ada biaya yang harus dikeluarkan bagi pelaku UKM ketika hendak mempromosikan produk atau jasa yang mereka miliki.

Kapan pun mereka bisa mempromosikan produk dengan jangkauan konsumen yang lebih luas. Kalaupun harus menggunakan layanan iklan berbayar yang ditawarkan situs internet, harganya jauh lebih murah ketimbang harus beriklan di media cetak atau elektronik.

Rasanya sudah banyak UKM yang bisnisnya telah terdongkrak berkat media sosial. Bahkan data terbaru yang dikeluarkan Facebook mengungkapkan sekitar 62 persen pengguna Facebook di Indonesia sudah terhubung dengan page UKM. Facebook juga terlihat sangat fokus menggarap segmen UKM. Ini dibuktikan dengan dibentuknya divisi yang khusus menangangi pelaku UKM untuk kawasan Asia Tenggara. Jumlah pengiklan di Facebook dilaporkan mencapai 3 juta, dengan lebih dari 70 persen pengiklan berasal dari luar Amerika Serikat.

Inilah tantangan yang harus bisa dijawab oleh pemerintah. Yang kita khawatirkan, setelah OTT global tersebut membuka BUT di Indonesia dan dipajaki, mereka malah membebani biaya pajak kepada pengiklan. Alhasil biaya beriklan di Facebook, Twitter atau Google bisa menjadi lebih mahal. Gairah UKM untuk beriklan di ketiga OTT tersebut pun meredup. Tentunya kita tidak menginginkan hal ini terjadi.

* Tulisan ini adalah murni opini penulis dan tidak mewakili pandangan media.

(brl/red)