Pembahasan revisi UU ITE seharusnya dilakukan secara terbuka, mengapa?

Pembahasan revisi UU ITE seharusnya dilakukan secara terbuka, mengapa?

Techno.id - Banyak yang menganjurkan agar pembahasan revisi UU ITE dilakukan secara terbuka. Apa penyebabnya?

Damar Juniarto, Direktur Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), menceritakan saat pembahasan revisi UU ITE pasal 27 ayat 3 bersama DPR RI Komisi I pada agenda rapat beberapa waktu yang lalu, muncul tawaran dari pimpinan sidang saat itu agar rapat mau dibahas secara terbuka atau tertutup. Seperti yang telah diberitakan oleh Merdeka.com pada hari Senin (15/02/16), tawaran itu sontak membuat para pegiat internet berkomentar.

"Dari pimpinan sidang yang waktu itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, mengatakan rapat ini mau terbuka atau tertutup. Tapi akhirnya terbuka. Sebenernya, hal itu tak perlu dipertanyakan lagi, karena ini kan kaitannya dengan korban dari UU ITE yang ada sekitar 137 orang yang sudah kena pidana UU ITE. Menurut kita, itu memang sudah seharusnya terbuka pembahasan itu," ujarnya saat berjumpa dengan Merdeka.combelum lama ini.

Pembahasan revisi UU ITE seharusnya dilakukan secara terbuka, mengapa?

Pembahasan revisi UU ITE
2016 merdeka.com/merdeka.com

Dalam pembahasan saat itu, sudah pastinya ada beberapa suara dari anggota DPR RI Komisi I yang pro dan kontra terhadap persoalan ini. Meski belum bisa diukur seberapa besar anggota yang pro dan kontra terkait revisi UU ITE pada pasal karet tersebut, namun suara-suara keras mengkritik adanya revisi terdengar jelas.

"Saat ini belum terukur dalam jumlah orang, tapi suara yang terlontar cukup keras. Misalnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) kemarin, kesempatan untuk DPR RI komisi I mendengarkan masukan dari kami semua, tapi kesempatan itu justru dipakai oleh anggota dewan misalnya, mengkritik kita. Mengkritik orang-orang yang mengajukan usul agar pasal 27 ayat 3 itu dicabut," jelasnya kemudian.

Bahkan kata Damar, beberapa anggota DPR ada yang menuding jika para aktivis internet ini ditunggangi kepentingan asing untuk mencabut pasal karet tersebut.

"Isi kritikannya adalah bahwa kami yang mengajukan usul itu dituding ditunggangi kepentingan asing. Mereka beranggapan bahwa pakar dan akademisi seperti kami memiliki agenda-agenda lain di luar agenda tersebut. Jelas, hal itu kami bantah. Kalau kami pure berangkat dari persoalan yang berada di masyarakat," pungkasnya.

(brl/red)