Indonesia masih menjadi ladang subur bagi developer software berbayar

Ilustrasi Microsoft Office 2016 © 2015 techno.id / Denny Mahardy
Techno.id - Saat ini, tak bisa dipungkiri kalau Indonesia masih menjadi ladang subur bagi pembuat software berbayar. Contohnya, ada Microsoft dengan Microsoft Office-nya. Walaupun ada layanan open source seperti Open Office, masyarakat luas banyak yang bergantung pada produk dari Microsoft itu.
Hari S. Sungkari pun memberikan komentarnya terkait susahnya Indonesia melepaskan diri dari gempuran software proprietary seperti dari Microsoft itu. Berdasarkan pandangan dari Sekertaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Industri Kreatif Teknologi dan Informasi Indonesia (MIKTI) itu, Microsoft Office masih lebih unggul dalam beberapa sisi dari Open Office.
- Miris, 90 persen sekolah di Indonesia masih pakai software ilegal Apa penyebabnya?
- 5 Software gratis pengganti Microsoft Office Tidak bisa menggunakan Microsoft Office karena masalah lisensi? Coba saja salah satu dari kelima software alternatif berikut ini!
- 5 Software gratis pengganti Microsoft Office Sekarang Anda tidak perlu mengeluarkan uang untuk menikmati software seperti Microsoft Office. Coba beberapa software gratis berikut ini.
"Masing-masing itu, punya kelebihan dan kekurangan, baik itu Microsoft maupun Open Office. Jadi, jangan dipukul rata. Memang, kalau pakai Microsoft kita bayar royalti, sementara Open Office nggak perlu bayar," terangnya pada Merdeka.com (27/10/15).
Namun, Hari menilai Microsoft Office lebih diminati pelaku UMKM dengan alasan efisiensi. Di samping itu, perusahaan swasta juga lebih suka menggunakan software proprietary karena sudah ditanggung oleh technical support-nya. Apalagi software yang sifatnya open source juga banyak yang masih memerlukan pengembangan dan penyempurnaan untuk memenuhi kebutuhan user tertentu.
"Misalnya saja, perusahaan UMKM, saya harus sediakan 10 sampai 20 programer untuk menyiapkan open source itu. Bagi mereka, itu cost lagi. Apalagi kalau basic perusahaanya bukan di TI, misalnya logistik, mending pakai yang software proprietary," imbuhnya.
Di sisi lain, beberapa pihak, terutama dari instansi pemerintahan, sudah berusaha menekan penggunaan software proprietary. Sayang, untuk meminimalkan penggunaan itu belum bisa dilakukan di skala besar.
"Untuk skala pemerintahan bisa ya dan itu sudah ada inisiatifnya sebenernya dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB), tapi untuk diterapkan di skala yang lebih luas belum tentu."
RECOMMENDED ARTICLE
HOW TO
-
Cara terbaru mengetahui siapa yang menggunakan WiFi kita tanpa izin dan memblokirnya
-
Cara menerjemahkan chat WhatsApp pakai AI langsung di aplikasinya, gampang dan tak ribet
-
Cara terbaru merekam layar Macbook tanpa aplikasi tambahan, ringan dan tak bikin lemot
-
Cara terbaru kalibrasi warna monitor secara manual untuk desain grafis, ternyata gampang dan mudah
-
Cara menghapus aplikasi bawaan Windows yang jarang digunakan, bisa bikin lemot jika diabaikan
TECHPEDIA
-
5 Tanggal Steam Sale paling populer yang termurah, game harga ratusan ribu bisa dapat diskon 90%
-
Intip canggihnya Galaxy S25 Edge, bodinya bakal cuma setebal biji beras?
-
Tinggal diajak ngobrol, chatbot AI punya Netflix ini bisa kasih rekomendasi film yang asyik
-
Skype berhenti beroperasi setelah lebih dari 20 tahun, ganti jadi produknya Microsoft yang satu ini
-
Apa itu pindai mata dan World Coin, ternyata berbahaya bagi data pribadi pengguna
LATEST ARTICLE
TECHPEDIA Selengkapnya >
-
5 Tanggal Steam Sale paling populer yang termurah, game harga ratusan ribu bisa dapat diskon 90%
-
Intip canggihnya Galaxy S25 Edge, bodinya bakal cuma setebal biji beras?
-
Tinggal diajak ngobrol, chatbot AI punya Netflix ini bisa kasih rekomendasi film yang asyik
-
Skype berhenti beroperasi setelah lebih dari 20 tahun, ganti jadi produknya Microsoft yang satu ini