Inilah alasan mengapa rata-rata pengguna smartphone menjadi Nomophobia
Techno.id - Sejak dikenal secara luas penggunaanya di awal dekade 2000an, smartphone telah begitu lekat dengan kehidupan manusia. Terlebih saat di tahun 2007 Apple memperkenalkan iPhone, smartphone pertama yang menggunakan teknologi multi-touch interface dan mengklaim bahwa benda yang tak lebih besar dari sekotak coklat itu akan menjadi teknologi masa depan yang paling dicari. Terbukti hingga saat ini penggunaan smartphone terlebih iPhone kian meningkat.
Berkembangnya teknologi pada smartphone membuat sebagian besar manusia jadi sangat tergantung pada alat komunikasi tersebut. Sebuah penelitian dengan subjek para remaja Inggris menemukan bahwa mereka cenderung menghabiskan banyak waktunya dengan ponsel pintarnya, ketimbang gadget lainnya.
Sebuah analisa yang dilakukan oleh The Economist mengenai rata-rata penggunaan gadget berdasarkan jangka waktunya, menempatkan smartphone sebagai salah satu gadget yang paling sering digunakan pada jam-jam sibuk (08.00 sampai 19.00) terlebih bagi mereka yang masih berada pada usia produktif (16 hingga 54 tahun).
Bahkan sebuah penelitian yang dilakukan YouGov, sebuah lembaga riset yang berbasis di Inggris pada tahun 2010 menyatakan bahwa 53% pengguna ponsel di sana cenderung cemas ketika ponsel pintar tidak berada di genggaman mereka. Bahkan bagi beberapa orang keadaan tanpa ponsel pintar menjadi sangat menakutkan atau yang lebih dikenal dengan Nomophobia. Pengguna berusia 18 hingga 24 tahun adalah kelompok yang paling riskan terserang Nomophobia dengan persentase sebesar 77%.
Penelitian yang diterbitkan oleh Indian Journal of Comunnity Medicine pada tahun 2010 menyebutkan bahwa 73% responden yang merupakan mahasiswa di India menyatakan bahwa mereka tidak bisa lepas dari smartphonenya bahkan saat sedang tidur. Sekitar 18,85% responden mengungkapkan bahwa mereka menggunakan ponsel selama jam kuliah dan 8,5% sisanya menggunakan ponsel pintar hanya saat diperlukan. Penelitian ini juga melaporkan bahwa 20% responden mengaku kehilangan konsentrasi dan menjadi stres ketika mereka tidak memegang smartphonenya atau saat ponsel pintarnya kehabisan baterai. Bahkan 44% responden mengaku bisa menghabiskan Rp 52.000 sampai Rp 105.000 untuk mengisi ulang pulsa smartphonenya.
Meski secara resmi belum dimasukkan ke dalam kategori gangguan mental pada DSM V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), efek nomophobia memang sangat mengkhawatirkan. Untuk itu cobalah kenali tanda-tanda saat seseorang mulai mengidap nomophobia berikut ini. Yang pertama, seorang penderita nomophobia cenderung akan mengalami ketidakmampuan untuk jauh atau bahkan mematikan ponsel pintar mereka. Kedua, penderita nomophobia cenderung obsesif untuk mengecek email, pesan, atau akun media sosial lainnya yang ada di ponsel pintar. Ketiga, penderita nomophobia cenderung akan mengisi ulang daya baterai entah dengan mendekati sumber listrik atau selalu menghubungkan smartphonenya dengan power bank.
Apa yang membuat seseorang menjadi nomophobia?
Teknologi dan desain adalah dua hal penting yang diduga dapat membuat seseorang menjadi nomophobia atau tidak ingin lepas dari ponsel pintarnya. Ukuran yang pas di genggaman membuat ponsel pintar menjadi gadget paling privat yang pernah ada. Anda bisa dengan mudah dan aman mengakses pesan pribadi di Twitter, Facebook, dan media sosial lainnya melalui smartphone dan mengurangi risiko hal-hal pribadi Anda bisa di akses orang lain seperti saat Anda menggunakan PC atau laptop.
Selain itu, teknologi juga menjadi kunci mengapa ponsel pintar menjadi candu bagi penggunanya. Saat ini, Anda bisa dengan mudah merekam suara merdu Anda dan membagikannya ke seluruh dunia hanya dengan akses aplikasi seperti SoundCloud atau Anda bisa berhubungan dengan kekasih yang ada di negeri seberang hanya dengan melakukan video call via aplikasi Line.
Menjauhkan masyarakat dari penggunaan smartphone memang akan terasa sulit, mengingat segala bentuk kegiatan manusia saat ini dekat dengan teknologi yang bisa di akses dengan mudah melalui ponsel pintar. Namun, untuk mengurangi dampak nomophobia masyarakat harus mengembangkan norma-norma baru dan perusahaan penyedia smartphone belajar bagaimana untuk menyeimbangkan antara privasi dan keuntungan.