Tulisan yang dibuat AI masih sulit dideteksi oleh berbagai software canggih, ternyata ini penyebabnya

Advertisement

Techno.id - Perkembangan pesat dan kemajuan AI ternyata menyimpan berbagai macam dampak di berbagai lini. Seperti chatbot berbasis AI yang kini tengah ramai digunakan, ChatGPT yang baru-baru ini jadi perbincangan karena dipakai untuk menyelesaikan tugas kuliah.

Dilansir techno.id dari Lifewire pada Kamis (25/5), terjadi sebuah kontroversi di salah satu perguruan tinggi di Amerika. Salah satu dosen Universitas Texas A&M, bernama Dr. Jared Mumm, menerangkan jika tugas yang dikerjakan mahasiswanya dibuat oleh ChatGPT. Hal ini ia temukan ketika memasukkan setiap tugas para mahasiswanya ke aplikasi chatbot tersebut. Lalu ChatGPT membenarkan kalau tulisan para mahasiswa Jared dibuat oleh chatbot tersebut.

Setelah dilakukan investigasi lebih lanjut, kabar tersebut akhirnya menemukan titik terang. Mahasiswa yang dikabarkan menggunakan ChatGPT memberikan bukti berupa timestamp saat menggunakan Google Docs sebagai media pengerjaan tugas.

Meskipun sempat membuat gaduh dengan polemik penggunaan ChatGPT, kejadian tersebut justru memantik diskusi kembali terkait penggunaan AI di dunia akademis. Beberapa ahli di bidangnya turut memberikan komentar atas kejadian tersebut.

foto: pexels.com/Vlada Karpovich

Menurut Anthony Clemons, seorang peneliti penggunaan AI di bidang pendidikan dari Universitas Northen Illnois, menyampaikan jika teks yang dibuat oleh AI kini semakin canggih sehingga sangat sulit untuk mendeteksinya.

Alat seperti GPT-2 Output Detector, Writer AI Content Detector, Content at Scale, GPTZero, dan Giant Language Model Test Room, memiliki tingkat akurasi yang bervariasi, tetapi tidak ada yang sempurna.

Menurut Andrew Selepak, seorang profesor media sosial di Universitas Florida, AI tidak menggunakan database software pendeteksi plagiarisme untuk menulis esai. Hal ini berarti sebagian besar metode yang digunakan oleh software pendeteksi plagiarisme untuk mencari contoh dan kasus kecurangan mahasiswa tidak berlaku ketika AI menuliskan esai mahasiswa.

foto: pexels.com/Matheus Bertelli

Selepak menambahkan bahwa AI menggunakan konten tak terbatas dari internet untuk membuat esai bagi mahasiswa. Karena itu, tidak ada contoh pekerjaan sebelumnya yang dapat dipadankan oleh software pendeteksi plagiarisme dengan pekerjaan yang dikumpulkan oleh mahasiswa.

Sebagai alternatif, Andrew Selepak menyarankan untuk kembali menggunakan metode lama daripada mengandalkan aplikasi baru untuk mendeteksi plagiarisme. Selepak mengatakan bahwa menghilangkan teknologi dalam penggunaannya adalah solusi yang lebih baik. Dia menyarankan agar mahasiswa menulis esai dan ujian secara langsung di dalam kelas seperti yang dilakukan oleh sekolah dan universitas selama ratusan tahun sebelum teknologi mendominasi.

Namun, jika kasus penggunaan AI yang diduga melibatkan identifikasi kutipan yang sama persis dengan sumber lain, Tim Boucher, seorang ahli dalam mendeteksi pelanggaran hak cipta pada pos teks, menyatakan bahwa deteksinya relatif sederhana asalkan terdapat bank teks sumber yang cukup besar.

Menurut Boucher, meskipun sekolah mungkin tidak dapat mendeteksi semua pekerjaan yang dihasilkan menggunakan AI, penulisan manusia akan tetap mendominasi dan AI akan menjadi alat yang memperkuat kreativitas manusia, memungkinkan penulis dan seniman untuk menghasilkan lebih banyak konten dalam skala yang lebih besar daripada sebelumnya.

Advertisement


(brl/guf)