Enzim temuan ilmuwan ini bantu seseorang berhenti merokok

Advertisement

Techno.id - Keinginan untuk berhenti dari jerat kenikmatan rokok itu memang ada. Namun, untuk melakukannya terkadang tak semudah apa yang diucapkan. Oleh sebab itu, jumlah pecandu rokok semakin bertambah dari masa ke masa dan berbanding lurus dengan bertambahnya angka kematian.

Tak ingin efek buruk dari rokok menimpa seluruh umat manusia, sebuah tim peneliti dari Amerika Serikat bekerja keras selama 30 tahun untuk menciptakan enzim pemusnah nikotin di dalam tubuh. Namun sayang, upaya yang mulia ini belum mendapat keberhasilan. Sampai suatu ketika, peneliti tersebut justru menemukan enzim alami yang berasal dari dalam tanah kebun tembakau.

Enzim yang dinamakan NicA2 ini dibuat dari bakteri yang dikenal sebagai Pseudomonas putida. Bakteri ini biasa ditemukan di tanaman tembakau karena ia bergantung sepenuhnya pada nikotin sebagai sumber karbon dan nitrogen.

Untuk mengetahui kemampuan enzim NicA2, para ilmuwan mengujikan enzim ini pada seekor tikus. Mereka memasukkan serum enzim NicA2 pada darah tikus yang telah disuntikkan nikotin. Nikotin yang dimasukkan ke dalam darah tikus setara dengan nikotin pada satu batang rokok. Hasilnya cukup memuaskan, kandungan nikotin pada darah tikus berangsur-angsur mulai berkurang, seperti yang disadur dari Gizmag (6/8/15).

Namun, para peneliti tak cukup puas bila diterapkan pada tikus dan memutuskan untuk mengujinya pada manusia. Setelah tiga minggu diterapkan pada tubuh manusia, ternyata enzim NicA2 tetap stabil dan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda toksisitas. Bahkan, peneliti tadi berujar bahwa peningkatan dosis NicA2 dan sedikit modifikasi bahan kimia bisa mengurangi kadar nikotin lebih banyak.

Para peneliti berharap suatu saat nanti, enzim ini dapat menjadi alternatif untuk membantu seseorang yang ingin berhenti merokok. "Mudah-mudahan kita bisa meningkatkan stabilitas serum dengan penelitian selanjutnya untuk mengobati para pecandu rokok," kata Song Xue, seorang mahasiswa pascasarjana (TSRI) The Scripps Research Institute dan penulis pertama dari studi tersebut.

Advertisement


(brl/red)